GAJI vs MOTIVASI
Oleh: R. Matindas
Di atas kereta tua ada pensiunan PJKA. Di depannya duduk seorang anak muda. Pria berkumis dengan dasi kupu-kupu. Dia bukan pejabat PJKA. Dia menantunya Si Tua Pensiunan. Berdua mereka terlibat perdebatan. Tidak terlalu seru dan tidak terlalu tegang. Masing-masing bicara dengan logikanya. Tapi yang logis untuk Si Mertua, terdengar tak logis untuk Sang Menantu. Logika hanyalah cara menata fakta, lalu melompat pada kesimpulan. Dan kesimpulan hanyalah kesimpulan. Kesimpulan bukanlah fakta.
Maka melompatlah Sang Mertua. Melompat ke bawah, ke atas tanah. Dan Si Menantu pun menyusul jejaknya. Melompat dari atas (bukan dari dalam) kereta.
"Nah,” kata Si Mertua, “Inilah contoh kesalahan logika. Kau selalu bilang kita turun hanya ke bawah. Tapi nyata, dari atas kereta kita turun ke atas tanah.”
"Tapi, Pak, kita turun kan ke bawah. Kita turun ke bawah kereta. Dan kebetulan kita lalu berada di atas tanah.”
"Tidak, Nak, kita bukan turun ke kolong kereta. Kita turun dari atas kereta. Dari atas kereta ke atas tanah. Turun hanya menunjukkan perpindahan tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Turun tidak harus ke bawah dan naik tidak harus ke atas. Saya bisa naik ke bawah.”
"Mana mungkin? Naik kan pasti ke atas?.”
"Belum tentu, Nak. Kau lihat pohon rindang di atas bukit sana? Dari sini aku bisa naik ke atas bukit dan sampai ke bawah rindangnya pohon itu. Lalu berteduh di sana!"
"Itu logika orang gila," bantah Sang Menantu, walau hanya di atas hati.
Kereta tua bergerak perlahan menjauhi mereka. Si Mertua melanjutkan bicaranya, "Jadi jangan kau bilang gaji bisa meningkatkan motivasi. Karena aku berpendapat bahwa meningkatkan motivasi justru harus dilakukan dengan menurunkan gaji.”
"Tapi itu kan jelas tidak logis, Pak?"
"Memang. Memang jelas untuk kamu. Logis... untuk kamu. Tapi ingat, logika bukanlah fakta ....."
"Jadi kalau begitu pendapat Bapak tidak didukung fakta?"
"Barangkali, tapi itu tidak apa-apa. Coba ingat bahwa fakta tidak selamanya disadari. Pendapat saya barangkali tidak didukung oleh fakta-fakta yang kau sadari, tetapi mungkin sekali ditopang oleh fakta-fakta yang belum terungkapkan. Tapi kalau kau berhasil melihat fakta-fakta yang sudah aku lihat, kau segera akan setuju bahwa pendapatku pun tersusun berdasarkan fakta.”
"Kalau begitu cobalah bapak tunjukkan fakta-fakta itu.”
"Itulah susahnya, Nak. Fakta-fakta itu sebetulnya sudah aku tunjukkan. Cuma, kau tidak sudi melihatnya... Begini saja. Mari kita pulang. Di rumah kita berdiskusi. Bukan berdebat. Dan syarat untuk diskusi, tidak boleh ada kata tetapi.”
Dengan bergandengan tangan layaknya pengantin baru mereka pun jalan pulang ke rumah. Di sana (atau di sini?) mereka duduk berhadapan. Lalu Sang Mertua membuka pembicaraan.
Mertua : "Pernah kau punya karyawan yang suka membolos?"
Menantu : "Ya, ada juga beberapa orang.”
Mertua : "Menurut pendapatmu, apakah mereka itu orang-orang malas?"
Menantu : "Tentu saja, mereka pemalas.”
Mertua : "Dan mereka rajin membolos?"
Menantu : "Ya, mereka sering membolos.”
Mertua : "Jadi mereka malas bekerja dan rajin membolos. Lalu apakah mereka rajin atau malas?"
Menantu : "Agak bingung saya jadinya.”
Mertua : "Tahukah kau apa yang mereka kerjakan ketika membolos?"
Menantu : "Menurut laporan, beberapa di antara mereka pergi bekerja ke tempat lain.”
Mertua : "Oh, jadi mereka bolos kerja untuk bisa kerja di tempat lain?"
Menantu : "Iya.”
Mertua : "Jadi sebenarnya mereka toh senang bekerja ya?"
Menantu : "Iya, tapi di tempat lain, karena dengan begitu mereka dapat tambahan gaji.”
Mertua : Nanti dulu. Yang saya mau tahu, mereka itu rajin atau malas kerja?"
Menantu : "Terus terang saya tidak tahu.”
Mertua : "Bagus, bagus sekali. Kalau kau tidak tahu, mungkin kau mau percaya apa yang saya katakan. Mereka itu, dan semua orang lain, pada dasarnya suka bekerja. Orang yang malas, hanyalah orang-orang yang kurang gizi. Orang-orang yang sehat, tidak ada yang suka berdiam diri. Ingat waktu kau harus berbaring di rumah sakit? Kau tidak betah. Kau ingin segera kembali bekerja. untuk apa? Untuk uangkah? Pasti bukan. Gajimu tidak dipotong dan kau dapat cuti sakit. Coba jawab, apakah kau bekerja untuk uang?"
Menantu : "Bukan. Saya memang tidak bekerja untuk uang. Tapi pegawai rendahan pasti bekerja untuk uang.
Mertua : Mungkin kau benar, Nak. Tapi mari kita periksa jalan pikiranmu yang lain. Apakah kau setuju bila karyawan yang malas diberikan sanksi? Atau haruskah mereka diberikan hadiah?"
Menantu : "Mereka harus diberi sanksi.”
Mertua : "Kau setuju kalau karyawan yang malas diberi sanksi.”
Menantu : "Setuju 200 persen.”
Mertua : "Tak perlu jadi ekstrem begitu. Pokoknya kau setuju. Nah, apa kira-kira sanksi yang pantas untuk mereka. Disetrap, dipukul, dipotong gajinya atau ditunda kenaikan pangkatnya.”
Menantu : "Ditunda kenaikan pangkatnya boleh juga. Atau jangan dikasih bonus, dipotong uang makannya... yang sebangsa begitulah.”
Mertua : "Kalau orang ditunda kenaikan pangkatnya, apakah tidak berarti bahwa secara tidak langsung diapun dikurangi gajinya. Sebab kalau pangkatnya naik kan gajinya juga ikut naik?"
Menantu : "Memang betul. Langsung atau tidak langsung pada akhirnya sanksi itu akan berpengaruh pada penghasilan mereka.”
Mertua : "Penghasilan mereka jadinya berkurang? Padahal kau bilang mereka jadi malas karena gajinya kurang. Lha kalau gajinya makin dikurangi apa bukannya mereka jadi tambah malas? ...Akh, ini, Nak. Inilah logika.”
Sang Menantu terhenyak sejenak. Lalu menundukkan kepala. Dia berpikir, benarkah gaji berhubungan denghan motivasi. Waktu dia sadar dari lamunannya, mertuanya sudah menghilang. Sebagai ganti, di depannya tergeletak sebuah buku tentang motivasi kerja. Buku karangan Herzberg ini menjelaskan bagaimana hubungan antara gaji dan motivasi. Di situ disebutkan bahwa gaji adalah necessary condition (faktor yang harus ada) tetapi bukan sufficient condition (faktor yang menjamin) bagi tingginya gairah kerja. Gaji yang kecil membuat orang tidak bergairah, tapi gaji yang besar tidak membuat orang menjadi bergairah. Manusia bekerja tidak hanya untuk gaji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar