Dacing

------- HOME------ SLIDES ------ ARTIKEL -------PELATIHAN

Mencegah Kecurangan Akademik

Beberapa Cara Mengatasi Kecurangan Akademik
R. Matindas, Agustus 2010

Pendahuluan.
Hanya dalam tahun 2010 saja, media masa Indonesia sudah memaparkan paling tidak empat kasus besar yang menyangkut kecurangan akademik. Yang pertama berkaitan dengan dicabutnya gelar guru besar seorang tenaga pengajar karena ketahuan menjiplak karya orang lain. Dua kasus lainnya adalah penjiplakan skripsi mahasiswa jenjang sarjana yang dilakukan oleh dua dosen yang berbeda dalam usaha mereka untuk mendapat kredit bagi pengangkat guru besar mereka. Kasus ke empat adalah penjiplakan karya ilmuwan Austria oleh seorang guru besar perguran tinggi di Bandung. Sebelum itu, pada tahun 2009, ada laporan tentang 3680 guru di Yogyakarta dan 1820 guru di Pekanbaru. yang mengakui karya orang lain sebagai karya pribadinya. Hal itu mereka lakukan agar dapat dinyatakan lulus dalam program sertifikasi guru. (Alfindra Primaldi 2010).
Pemberitaan tersebut, sangat boleh jadi belum melaporkan semua kasus yang ada. Selain karena kasus itu tidak terungkap, bisa juga ada kemungkinan penulis tidak sempat membaca kasus tertentu yang sebetulnya dilaporkan.
Informasi di atas menunjukkan bahwa kecurangan akademik tidak hanya dilakukan oleh mahasiswa melainkan juga oleh dosennya. Hal ini jelas memprihatikan karena mahasiswa bisa saja berpikiran bahwa melakukan kecurangan akademik bukanlah sebuah kesalahan yang perlu dihindari.
Mungkin karena maraknya kasus kecurangan akademik yang terungkap di media masa, mentri pendidikan telah menerbitkan Peraturan Mentri Pendikan Nasional (Permendiknas) tentang plagiat yang ditetapkan pada tanggal 16 Agustus yang baru lalu. Surat Keputusan itu antara lain menjelaskan kegiatan-kegiatan yang dikategorikan sebagai perbuatan plagiat dan sanksi yang akan dijatuhkan bagi pelakunya.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka ketika ditugaskan untuk menyampaikan kuliah umum bagi mahasiswa Fakulatas Psikologi UI angkatan 2010/2011, penulis memilih untuk menguraikan perlunya upaya untuk memerangi kecurangan akademik.

Pengertian Kecurangan Akademik.
Umumnya Kecurangan Akademik disamakan pengertiannya dengan perbuat plagiat. Meskipun demikian, penulis sependapat dengan bebrapa pembahas lain, yang mengartikan plagiat sebagai hanya salah satu bentuk kecurang akademik.
Marsden et al. (2005) membedakan kecurangan akademik ke dalam [1] cheating atau tingkahlaku menyontek (pada waktu ujian) [2] plagiarism yaitu kegiatan mengutip tanpa menyebut sumber dan [3] falsification yaitu usaha memberikan kesan bahwa suatu ”pernyataan tertentu” (yang dinyatakan dalam naskah pelaku kecurangan) telah ”dibuktikan” oleh suatu kajian yang dilakukan orang lain. Dengan cara ini pelaku kecurangan berusaha untuk menyakinkan pembacanya / pendengarnya bahwa apa yang ia kemukakan adalah hal yang telah terbukti kebenarannya.
Meskipun ada beberapa macam bentuk kecurangan akademik, namun plagiat tampaknya mendapatkan perhatian lebih sehingga beberapa institusi menetapkan peraturan khusus tentang plagiat. Di lain pihak sanksi terhadap tingkahlaku menyontek umumnya lebih sering diatur sendiri-sendiri oleh para dosen
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat Di Perguruan Tinggi, plagiat diartikan sebagai “perbuatan secara sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya dan/atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai”.
Perlu diingatkan di sini bahwa dalam Permendiknas itu, karya ilmiah tidak hanya terbatas pada tulisan melainkan mencakup pula piranti lunak, komposisi musik, fotografi, sketsa, patung dan lain sebagainya.
Lebih rinci, Pasal 2 Permendiknas itu menyatakan:
Plagiat meliputi tetapi tidak terbatas pada : a. mengacu dan/atau mengutip istilah, kata-kata dan/atau kalimat, data dan/atau informasi dari suatu sumber tanpa menyebutkan sumber dalam catatan kutipan dan/atau tanpa menyatakan sumber secara memadai; b. mengacu dan/atau mengutip secara acak istilah, kata-kata dan/atau kalimat, data dan/atau informasi dari suatu sumber tanpa menyebutkan sumber dalam catatan kutipan dan/atau tanpa menyatakan sumber secara memadai; c. menggunakan sumber gagasan, pendapat, pandangan, atau teori tanpa menyatakan sumber secara memadai; d. merumuskan dengan kata-kata dan/atau kalimat sendiri dari sumber kata-kata dan/atau kalimat, gagasan, pendapat, pandangan, atau teori tanpa menyatakan sumber secara memadai; e. menyerahkan suatu karya ilmiah yang dihasilkan dan/atau telah dipublikasikan oleh pihak lain sebagai karya ilmiahnya tanpa menyatakan sumber secara memadai.

Dari berbagai uraian di atas, penulis mengartikan kecurangan akademik sebagai usaha menimbulkan kesan bahwa pernyataan / kesimpulan maupun temuan yang sebetulnya dihasilkan oleh jerih payah orang lain, adalah hasil pribadi penulis atau pengarang (yang melakukan plagiat). Perbuatan ini terutama dilakukan dengan tidak menginformasikan bahwa gagasan yang diakui sebagai hasil pribadinya, sesungguh ia peroleh dari sumber lain.
Inti kecurangan akademik sebetulnya adalah niat untuk mendapatkan keuntungan –baik berupa nilai, kenaikan pangkat maupun keuntungan materiil– melalui pengingkaran terhadap hak orang lain.

Pendorong terjadinya kecurangan akademik
Kecurangan akademik, sebagaimana juga halnya berbagai tingkahlaku manusia, muncul sebagai interaksi berbagai faktor, baik yang bersifat internal (ada di dalam diri pelaku) maupun yang bersifat eksternal (berasal dari lingkungan). Alfindra Primaldi yang merangkum berbagai kajian tentang plagiarisme menyebutkan banyak sekali faktor yang berkaitan dengan kecurangan akademik. Faktor yang bersifat internal antara lain meliputi academic self-efficacy, indeks prestasi akademik, etos kerja, self-esteem, kemampuan / kompetensi motivasi akademik need for approval belief sikap (attitude), tingkat pendidikan teknik belajar (study skill), dan moralitas. Selain itu, faktor yang bersifat eksternal antara lain meliputi pengawasan oleh pengajar, penerapan peraturan, tanggapan fakultas terhadap kecurangan, perilaku siswa lain serta asal negara pelaku kecurangan.
Tiap tiap faktor yang disebut di atas sesungguhnya adalah faktor yang mungkin terkait satu dengan lainnya. Sebagai contoh, self-esteem (harga-diri) boleh jadi berkaitan dengan kompetensi akademik dan komptensi akademik juga berkaitan dengan self-efficacy maupun teknik belajar. Sayangnya, penulis tidak berhasil menemukan suatu kajian yang secara khusus mencoba menelusuri “core determinant” kecurangan akademik.
Oleh karena itu untuk mencoba mencari “core determinant” dari kecurangan akademik, penulis mencoba menganalisis [1] hal-hal yang membuat seseorang tetap melakukan suatu perbuatan yang seharusnya tidak ia lakukan dan [2] hal-hal yang membuat seseorang menolak melakukan perbuatan yang menguntungkan dirinya ketika ia tahu perbuatan itu bertentangan dengan aturan. Melalui analisis itu dapatlah diajukan beberapa hal yang mendorong terjadinya kecurangan akademik:
1. Yang bersangkutan tidak tahu bahwa perbuatan itu tidak boleh dilakukan
2. Yang bersangkutan tahu hal itu tidak boleh dilakukan tetapi yakin bahwa ia dapat melakukannya tanpa ketahuan
3. Yang bersangkutan [1] tahu hal itu tidak boleh dilakukan dan [2] tidak yakin bahwa perbuatannya tidak akan diketahui , tetapi ia tidak melihat kemungkinan lain untuk mencapai tujuan utamanya (lulus atau mendapat nilai kredit untuk kenaikan pangkat), dan berharap agar perbuatannya tidak ketahuan. Dalam beberapa hal ia mungkin percaya bahwa walaupun temannya mungkin mengetahui kecurangannya, tetapi teman itu tidak akan melaporkan kepada pihak yang akan memberikan sanksi
4. Yang bersangkutan tidak percaya bahwa ancaman sanksi akan benar-benar dilakukan.
5. Yang bersangkutan tidak merasa malu apabila perbuatannya diketahui orang lain.

Mencegah Kecurangan Akademik
Di antara berbagai hal yang di ajukan di atas, sebetulnya dapat di ringkas menjadi dua hal utama yaitu [1] penjelasan yang tuntas mengenai perbuatan yang yang merupakan kecurangan akademik serta sanksi yang akan dijatuhkan, [2] pengawasan yang ketat yang diikuti dengan pengumuman terhadap tiap kecurangan akademik yang ditemukan [3] pembuktian bahwa ancaman sanksi benar-benar dilakukan dan [4] membangkitkan rasa malu untuk melakukan kecurangan akademik.
1 Jelaskan kegiatan yang tergolong kecurangan serta sanksinya.
Sekedar membuat dan mengumumkan suatu peraturan belumlah cukup untuk membuat masyarakat akademik benar-benar memahami peraturan yang bersangkutan. Selalu diperlukan semacam ”pelatihan” yang lengkap dengan contoh-contoh kongkrit. Masyarakat akademik perlu sadar bahwa walaupun ia hanya mengungkapkan inti pernyataan orang lain (artinya ia menggunakan bahasa sendiri), ia tetap dinyatakan melakukan plagiat bila ia tidak menyebutkan sumbernya.
2 Mengusahakan timbulnya keyakinan bahwa kecurangan yang dilakukan seseorang pasti akan ketahuan dan akan diumumkan. Hal ini dapat dilakukan dengan mendorong mahasiswa untuk ikut melakukan pengawasan dan pelaporan. Mahasiswa bahwa wajib melaporkan kepada pimpinan fakultas atau universitas jika ia punya kecurigaan bahwa dosennya melakukan kecurangan. Laporan yang diberikan mahasiswa harus ditindak lanjuti dan mahasiwa harus dilindungi dari kemungkinan balas dendam dosen. Belakangan ini mulai muncul piranti lunak untuk menguji kemiripan suatu tulisan dengan tulisan lain. Piranti lunak ini hanya dapat digunakan apabila tulisan (yang akan dijadikan acuan untuk menilai tulisan berikutnya), telah dipublikasikan secara elektronik. Oleh karena itu, sangat diharapkan agar semua pihak yang pernah menghasilkan karya ilmiah tidak ragu untuk ”mempublish” karyanya. Pemikiran bahwa diunggahnya tulisan ke internet akan memperbesar kemungkinan terjadinya plagiarisme, harus dibuang jauh-jauh. Justru kalau sebuah karya di”simpan” oleh penciptanya, ada kemungkinan bahwa ketika karya itu ia umumkan di kemudian hari, ia yang dituduh melakukan plagiat, karena karyanya muncul belakangan.
Juga perlu diingat bahwa meskipun kecurangan akademik tidak segera diketahui, namun bila karya asli telah dimuat lebih dahulu, suatu waktu di kemudian hari ada kemungkinan seseorang menyadari adanya dua karya yang mirip. Ia kemudian bisa menemukan pelaku plagiat, dengan cara membandingkan tanggal pembuatan (kedua karya yang serupa itu)
3 Mengusahakan agar mahasiswa tidak berada dalam situasi yang mendorong keputusasaan untuk menghasilkan karya tanpa melakukan kecurangan. Ini bisa dilakukan antara lain dengan tidak membebani mahasiswa dengan terlalu banyak tugas yang tidak relevan. Di lain pihak mahasiswa juga harus mengatur waktunya sehingga ia tidak berada dalam situasi terbenani banyak tugas pada waktu yang bersamaan.
4 Menunjukkan bukti bahwa semua kecurangan yang terbukti, akan dikenai sanksi. Para pengajar maupun pimpinan fakultas / universitas tidak boleh melalukan pembiaran terhadap kecurangan akademik. Belas kasihan harus lebih diberikan kepada mereka yang mengalami kesulitan membayar uang kuliah atau terlambat masuk kuliah karena jalanan macet. Tapi kesalahan moral, harus dihukum secara tegas.
5 Melatih mahasiswa untuk mampu menulis tanpa melakukan kecurangan. Mahasiswa (dan sebetulnya juga para dosennya) harus dibiasakan menemukan gagasan-gagasan orisinal. Ini dapat dilakukan dengan melakukan pelatihan berpikir kritis dan kreatif. Orang-orang yang kritis dan kreatif akan mampu menemukan gagasan yang original sehingga tidak perlu mencontek karya orang lain.
6 Mendorong mahasiswa dan tenaga pengajar untuk memiliki kebanggaan diri bila bertindak sesuai dengan ajaran moral maupun etika. Usahakan agar masyarakat akademik akan menghukum diri sendiri kalau sampai melakukan kecurangan. Jika usaha yang terakhir dapat diwujudkan, maka walaupun berbagai usaha di atas tidak berhasil dilakukan 100 persen, sivitas akademika tetap akan menolak untuk melakukan kecurangan akademik. Mahasiswa.






Daftar Pustaka:
Alfindra Primaldhi (2010) Perilaku plagiat pada mahasiswa s1 dari tiga universitas: prevalensi, faktor-faktor, dan program intervensi (plagiarisme among undergraduate students from three Universities: prevalence, factors, and intervention programme), Thesis Magister Fakultas Psikologi UI,.
Lance Maruscsak What Are The Effects Of The Self-Concept Theory In High School Students? Western Connnecticut State University http://people.wcsu.edu/mccarneyh/acad/Maruscsak.html diunduh tanggal 29 Agustus 2010
Marsden, H., Carroll, M., & Neill, J.T. (2005). Who cheats at university? A selfreport study of dishonest academic behaviours in a sample of Australian university students. Australian Journal of Psychology, 57(1), 1-10.
McCabe, D.L., & Trevino, L.K. (1993). Academic dishonesty: Honour codes and other contextual influences. Journal of Higher Education, 64, 552 – 538.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Penanggulangan Plagiat Di Perguruan Tinggi

Tidak ada komentar:

Arsip Blog

GAGASAN terSESAT

Memang ada pepatah yang mengatakan: “Malu bertanya, sesat dijalan”, tapi maaf, pepatah itu tidak laku di saat seseorang merintis jalan ke dunia baru yang belum pernah dikenal orang lain. Dalam perjalanan ke sana, tidak ada orang lain tempat bertanya. Karena itu seperti Hamlet, para petualang hanya bisa bertanya pada diri sendiri: “to be, or not to be”. Kumpulan naskah di sini diberi judul GAGASAN terSESAT, gagasan yang keluar dari jalur-jalur kelaziman. Saya percaya bahwa orang hanya mungkin tersesat kalau ia berani bertualang. Selama tetap di jalan umum (yang dilalui semua orang), kita aman. Ruginya, kita juga tidak akan sampai ke dunia yang baru.

Cinta Seks dan Dosa
Manusia itu makhluk multi dimensi. Terikat pada dimensi biologis, ia butuh makan, gerak dan Seks. Sebagai mahluk sosial, ia butuh perhatian, pujian berupa cinta. Lalu (atau barangkali tetapi) sebagai mahluk spiritual, ia butuh ketentraman dan kejaran dosa. Naskah di kapling ini antara lain adalah [1] Aneka Penyelewengan [2] Tips untuk memilih istri ke dua [3] Seks Psikologis Vs Seks Biologis [4]Dosa [5] Cinta, perasaan atau energi?

Ini, bukan Itu.
Naskah di kapling ini bertujuan menunjukkan perbedaan (dari) istilah-istilah yang sering di samaratakan (padahal jelas berbeda) seperti misalnya [1] Iman dan Agama [2] Gengsi dan Harga Diri [3] Konflik, permusuhan dan beda pendapat [4] Kewajar dan Keadilan

Gizi Psikologis Buat Anak

Perkembangan anak tidak saja membutuhkan makanan untuk kebugaran badannya, melainkan juga gizi psikologis untuk kesehatan jiwanya. Untuk itu sejumlah hal perlu mendapat perhatian [1 Anak itu unik [2] Menyikapi kebohongan anak [3] Membekali anak dengan keterampilan hidup [4]Moral di balik cerita wayang [5] Kritik, santapan rohani bergizi tinggi

Keranjang Daur Ulang
Ada sejumlah naskah yang tekah saya tuliskan lebih dari 20 tahun yang lalu. Ketika berberapa orang mebacanya di tahun 2008, mereka mengira naskah itu barus selesai kemarin. Anda mungkin tergoda membaca judul-judl ini [1] Empat cara menabung waktu [2] Jail [3] Kenalkan: “Amitri” [4] S edekah [5] Selusin Jurus Bijak dalam Menolong

Perempuan Gagah Jelita
Issu kesetaraan gender adalah topik kontroversial yang kadang kadang memberi inspirasi untuk menulis. Terganggu oleh adanya tiga jenis kelamin yang terulis di pintu toilet (laki / perempuan/ guru atau male / female/ executive) , saya teregilitik menulis topik-topik berikut. [1] Kartono, Sosok Kartini Abad Ini [2] Emansipasi dan Pembagian Peran [3] A-K-U Wanita [4] Menjadi Perempuan (bukan Pria, bukan Wanita) [5] Nilsa, dari sabang sampai Merauke [6] Realita Pernikahan

Kreatif Tanpa Nyentrik
Banyak mahasiswa isntitut kesenian yang berdandan dengan cara nyentrik. Pakai anting sebelah, rambut gondrong atau baju separuh dekil. Mereka kira, dengan nyentrik mereka langsung kreatif. . . . Padahal, hakikat kreatifitas jauh dari sekedar berbeda. [1] Kreatologi, jurus-jurus perangsang kreativitas [2] Kreativitas bukan segala-galanya [3] Kreativitas, perlukah? [4] Agar Anak Tak Mirip Robot


Sekedar Bertanya
Silence is Golden (tapi jangan diam waktu ujian lisan). Talking is Silver (jangan berisik waktu yang lain berdoa). Jangan diam dan jangan bicara. Jadi?.... Bertanyalah. Bertanya tanpa berisik. Bertanya pada diri sendiri [1] Dari mana datangnya keinginan? [2] Renungan Logika [3] Nasionalisme, spirit, sifat atau sekedar mode [2] Masyarakat Madani, . . . . Mungkinkah?

Tertawalah, mumpung gratis
Lelucon, Anekdot maupunKisah Penyegar yang ada di kapling ini, umurnya sangat pendek. Kalau ada lelucon baru yang lama langsung di hapus. Jadi kalau tidak anda baca hari ini, besok dia sudah berubah jadi cerita lain. Karena itu kalau mau tertawa, tertawalah hari ini, besok boleh jadi sudah terlambat-

Entri Populer