Perkawinan Beda Agama
R. Matindas, Mei 2006
Pengantar:
Pelajaran agama yang diterima seseorang dengan sendirinya akan mempengaruhi sistem nilai dan cara pandangnya. Dikemudian hari nilai dan cara pandang ini akan mempengaruhi keputusan-keputusan yang dibuat orang yang bersangkutan. Pilihan atau putusan ini tidak selalu hanya berkaitan dengan diri pribadinya, khususnya dalam kehidupan berumah tangga. Keputusan yang dibuat seorang suami akan (juga) berpengaruh terhadap istri. Begitu pula sebaliknya. Karena itu sangat diharapkan bahwa keputusan suami (yang dalam banyak hal ini berarti keinginan suami) hendaknya sama dengan yang diinginkan istri. Makin sering pilihan suami bertentangan dengan harapan istri, makin banyak persoalan yang akan dialami oleh rumah tangga yang bersangkutan. Sering-tidaknya pilihan istri bertentangan dengan harapan suami, sangat tergantung dari besar-kecilnya perbedaan nilai dan cara pandang yang ada di antara mereka.
Bahkan ketika istri dan suami dua-duanya adalah penganut (satu) agama yang sama, peanfsiran mereka terhadap ajarannya agamanya masih bisa berbeda. Jadi dapat dipahami, bahwa jika agama istri berbeda dengan agama suami, akan lebih banyak perbedaan nilai dan sikap hidup yang perlu dikompromikan. Dinamika perkawinan (baik dalam perkawinan seagama maupun beda agama) sangat dipengaruhi oleh proses dialog, maupun negosiasi untuk mengkompromikan berbagai perbedaan sepanjang kehidupan perkawinan pasangan yang bersangkutan.
Berikut ini diuraikan berbagai kenyataan dalam kehidupan perkawinan, dan peranan perbedaan agama dalam menghadapi kenyataan itu.
Berbagai Kenyataan Perkawinan
1 Agama tidak identik dengan iman.
Yang mempengaruhi cara pikir seseorang sebetulnya bukan agama yang dianutnya melainkan ajaran agama yang diyakininya. Dua orang yang agamanya sama pun bisa menyakini ajaran yang berbeda. Apa yang diyakini seorang adalah imannya, moralitasnya, dan bukan agamanya. Dalam banyak hal agama sebetulnya adalah identitas sosial orang yang bersangkutan seperti yang tercantum di kartu penduduknya.
Oleh karena itu, pernikahan beda agama dalam beberapa hal adalah pernikahan antara orang-orang yang dengan identitas sosial yang berbeda dan bukan antara orang-orang dengan nilai yang berbeda. Jika kedua pihak yang menikah berasal dari lingkungan keluarga yang tidak terlalu mempersoalkan masalah identitas sosial, perbedaan ini tidak banyak menimbulkan masalah dalam kehidupan perkawinan mereka. Mereka mungkin saja punya banyak masalah, tetapi sumbernya bukan perbedaan agama, melainkan hal-hal lain.
2 Perkawinan adalah sebuah bentuk kerjasama
Dalam sebuah perkawinan, dua orang terlibat dalam interaksi yang bersifat kerjasama untuk mencapai sejumlah tujuan. Sangat ideal kalau seluruh tujuan itu adalah tujuan bersama. Artinya, walaupun sesungguhnya istri tidak terlalu mengharapkan hal yang diinginkan suami, sang istri menjadikan keberhasilan suami (dalam mencapai tujuan pribadi suami) sebagai salah satu keinginannya. Suami pun diharapkan menjadikan keberhasilan istri sebagai keinginannya. Tentu saja tidak selamanya yang diidealkan dapat diwujudkan menjadi kenyataan. Siapa pun harus menyadari bahwa tidak mungkin ada dua orang yang bisa selalu seia sekata sepanjang segala abad. Satu waktu pasti ada konflik. Konflik ini bisa merupakan perbedaan pendapat, perbedaan nilai, maupun perbedaan kepentingan. Tapi, walaupun konflik adalah sebuah kenyataan, kita tidak perlu terlalu khawatir, sebab adalah juga kenyataan bahwa banyak sekali konflik yang dapat dipecahkan dengan baik. Dalam hal menyelesaikan konflik, keyakinan beragama seseorang punya peranan yang cukup besar, terutama dalam asumsi mengenai pihak yang seharusnya mengalah terhadap kepentingan pihak lain.
3 Perkawinan bukan hanya urusan dua orang.
Pernikahan antara seorang perempuan dengan seorang lelaki umumnya juga jadi kepentingan keluarga masing-masing. Lelaki dan perempuan yang berasal dari keluarga yang sangat tidak toleran terhadap pemeluk agama lain mengambil risiko terlalu besar untuk menjalani pernikahan beda agama. Meskipun secara pribadi mereka (karena cintanya) bisa membiarkan suami atau istri melanjutkan keyakinan agamanya, mereka tidak bisa mengharapkan keluarga mereka bersikap serupa. Perempuan atau lelaki yang dikucilkan oleh keluarga pasangannya akan mengalami stress yang berkepanjangan. Karena itu mereka yang berasal dari lingkungan keluarga yang tidak toleran dianjurkan untuk tidak menjalani pernikahan beda agama.
4 Manusia berubah dari waktu ke waktu
Dulu waktu kecil, saya senang sekali kalau diberi pistol air. Sekarang, saya maunya pistol beneran atau kalau tidak bisa minta "mentahannya" saja. Saya berubah. Hal-hal yang dulu begitu berharga bagi saya sekarang kehilangan nilainya. Dulu saya senang ditemani dan merasa kesepian bila ditinggal pergi. Sekarang saya tiba-tiba bisa merasa terganggu oleh kehadiran pasangan saya. "Saya ingin istirahat, jangan ganggu saya," dan sebagainya.
Saya berubah dan diapun berubah. Dulunya dia begitu sabar, sekarang karena sering dimarahin bosnya di kantor, dia jadi mudah tersinggung. Dia sering membentak saya dan seringkali berlaku kasar kepada saya. Dulu dia sangat memperhatikan saya, sekarang dia lebih memperhatikan siaran berita di TV, lebih suka baca koran, tidak lagi mau diajak ke Pasar Baru, dan sebagainya.
Perubahan yang dialami seseorang tidak hanya terbatas pada perubahan selera atau kebiasaan. Perubahan juga bisa menyangkut keyakinan beragama. Biasanya makin mendekati ajal, orang semakin berpaling kepada Tuhan yang sesuai dengan ajaran agamanya. Ini berarti bahwa dari waktu ke waktu ada kemungkinan perubahan toleransi keagamaan terhadap pasangan.
Perubahan juga bisa terjadi pada kondisi keuangan / kondisi kesejahteraan atau kondisi kesehatan. Orang-orang yang jatuh miskin pada awalnya memang biasa ‘marah’ kepada Tuhan. Tapi jika kemiskinan itu berlanjut, rasa marah itu bisa berubah jadi kekuatiran bahwa kemiskinan itu merupan hukuman Tuhan terhadap keputusannya untuk menjalani pernikahan beda agama. Karena itu meskipun di awal perkawinan perbedaan agama mungkin tidak banyak menimbulkan masalah, tidak ada jaminan bahwa keadaan itu akan langgeng sepanjang waktu.
Hanya dengan menyadari bahwa masing-masing dari kita dapat (dan satu waktu akan) berubah, kita dapat bersikap lebih realistis dalam menghadapi berbagai kekecewaan dalam pernikahan.
5 Perkawinan membutuhkan sejumlah persyaratan
6 Menikah bukan suatu keharusan
Pernikahan hanyalah satu di antara berbagai kemungkinan untuk menemukan kebahagiaan. Karena itu, pernikahan bukan sebuah keharusan. Saya kira ini adalah kata akhir yang perlu benar-benar dihayati. Janganlah sebuah pernikahan dipaksakan hanya sekedar karena "sudah cukup umur" atau demi status semata-mata. Jika memang seorang tidak siap untuk menikah, akan lebih bijaksana untuk membiarkan dia hidup "sendiri.” Saya kira, (meskipun mungkin berbeda dengan ajaran agama) kita perlu menyadari bahwa makin lama semakin banyak orang yang percaya bahwa “tidak menikah bukanlah sebuah aib”.
Penutup
Dari uraian yang diajukan tampaklah bahwa meskipun perbedaan agama adalah faktor yang mempersulit berbagai proses kompromi, negosiasi dan dialog dalam perkawinan, namum kematangan pribadi merupakan salah satu faktor yang dapat menetralkan pengaruh negatif dari pernikahan beda agama. Di dalam kematangan pribadi, terdapat unsur kematangan beragama. Orang-orang yang menyakini bahwa hanya orang-orang yang beragama sama seperti dia yang bisa masuk surga, sangat dianjurkan untuk tidak menikah dengan orang berbeda agama. Anjuran serupa juga perlu dialamatkan pada orang-orang yang diam-diam masih berharap pada suatu waktu nanti pasangannya akan sadar dan bersedia pindah agama. Menikahi (semua) orang yang dicintai, bukanlah suatu kewajiban; karena ini tidak adalah salahnya untuk tetap mencintai seseorang tanpa harus menjadi suami atau istrinya. Cintailah dia, berdoalah untuk dia tapi nikahi orang yang bisa diterima apa adanya. Dan menerima seseorang apa adanya berarti membiarkan dia dengan agamanya, menerima ia sebagai anggota dari suatu keluarga besar lain yang punya identitas sosial yang berbeda.
Pustaka
Davidson, James D. Interfaith marriage Commonweal.
Fishkoff, Sue. Inter marriage Moment.
Matindas, R: Realita Kehidupan Perkawinan (Makalah untuk seminar yang diselenggarakan majalah Sarinah Oktober 1986))
Matindas, R: Persyaratan Psikologis untuk Pernikahan (Makalah untuk ceramah dilingkungan Darma Wanita Bank Indonesia 1993)
Tvrtkovic, Rita George. When Muslims and Christians marry
3 komentar:
Wau, saya sepakat banget pak Budi atas pemikiran bapak. Ada satu tambahan yang mungkin boleh melengkapi pernyataan bapak atau malah merancukan.
Pada butir 2. Saya sedikit kutipkan ............Karena itu orang-orang yang sangat yakin bahwa ................. yang sama........
Saya usul ditambahkan : Atau menikah tanpa harus mempunyai anak. Bukankah menikah tidak harus berarti memproduksi anak?
Salam selalu,
Sahabat saya menikah beda agama dengan lelaki ekspatriat. Anak sulung mereka (usia 7 tahun) beragama sama dengan ibunya. Baru-baru ini, saat menonton acara tv yang menayangkan pemeluk agama yang dianut ibunya sedang melakukan ibadah, sang anak berkomentar--dengan bahasa indonesia yang terbata-bata-- "Tante, orang-orang ini agama L. Ayah saya bukan L. Ibu saya L, sedikit... Saya juga sedikit L. Adik saya (usia 1 tahun) belum L apa bukan."
Posting Komentar